#IndonesiaTanpaJIL

BlogTag

BlogTag
Verba volant, scripta manent - Words fly, written stays

Thursday, October 28, 2010

'Sumpah Pemuda' vs 'Sumpah Serapah Pemuda'

82 tahun yang lalu, berbagai wakil organisasi kepemudaan antara lain Jong Java, Jong Batak, Jong Celebes, Jong Sumatranen Bond, Jong Islamieten Bond, Jong Ambon, dsb serta pengamat dari pemuda tiong hoa seperti Kwee Thiam Hong, John Lauw Tjoan Hok, Oey Kay Siang dan Tjoi Djien Kwie melaksanakan Kongres Pemuda II.

Kongres Pemuda II ini menghasilkan satu catatan penting, yang kemudian dikenal dengan Sumpah Pemuda.
Isinya kurang lebih sebagai berikut:

PERTAMA : Kami Poetera dan Poeteri Indonesia, Mengakoe Bertoempah Darah Jang Satoe, Tanah Indonesia. (Kami Putra dan Putri Indonesia, Mengaku Bertumpah Darah Yang Satu, Tanah Indonesia).
KEDOEA : Kami Poetera dan Poeteri Indonesia, Mengakoe Berbangsa Jang Satoe, Bangsa Indonesia. (Kami Putra dan Putri Indonesia, Mengaku Berbangsa Yang Satu, Bangsa Indonesia).
KETIGA : Kami Poetera dan Poeteri Indonesia, Mendjoendjoeng Bahasa Persatoean, Bahasa Indonesia. (Kami Putra dan Putri Indonesia, Menjunjung Bahasa Persatuan, Bahasa Indonesia).

Pada hari itu juga, diperdengarkan (konon untuk pertama kalinya di hadapan orang banyak) Lagu Indonesia Raya, yang kemudian menjadi Lagu Kebangsaan Indonesia.

Hingga kini, Output dari Kongres Pemuda II ini diperingati setiap 28 Oktober sebagai hari Sumpah Pemuda.

* * * * *

Di masa kini, apakah semangat persatuan dan kebanggaan berbangsa dan berbahasa Indonesia itu masih melekat pada diri kita, para pemuda?

Bertoempah Darah Jang Satoe, Tanah Indonesia.

Adakah tumpah darah kita itu berarti kita memang harus menumpahkan darah kita di jalanan dengan tawuran?
Adakah tumpah darah yang satu itu berarti kita harus berdemo hingga babak belur, anarkis, membakar ban hingga ada martir di antara kita?
Adakah tumpah darah itu kita harus tunjukkan dengan menghadapai pemuda lain yang berseragam polisi atau satpol PP, yang notabene mungkin adalah sahabat kita, tetangga kita bahkan keluarga kita sendiri?

Dari Kamus Besar Bahasa Indonesia, kita bisa mendapatkan arti dari 'tumpah darah' itu sebagai 'tempat (daerah) kelahiran'. Hmm, mestinya kita tahu dan mengerti itu. Tapi bagaimana kita menghayati substitusi kata 'tempat (daerah) kelahiran' itu dengan idiom 'tumpah darah' yang mestinya secara emosional lebih bermakna mendalam.
Seharusnya kita memahami dengan baik pentingnya kita memaknai tumpah darah itu dengan kecintaan terhadap tanah air, persaudaraan. Tanah air kita yang merupakan Negara Kesatuan, dari Sabang sampai Merauke, yang terdiri dari lebih dari 17.000 pulau dengan total garis pantai terpanjang di dunia, yang membuat kita memiliki banyak saudara dengan kekayaan alam dan budaya yang disumbangkan oleh masing-masing wilayah kita.

Kita dulu pernah jaya dengan dua Kerajaan Maritim yang Besar: Sriwijaya dan Majapahit.

Tuesday, October 26, 2010

Meilia

Kita serupa kau, aku & bunga-bunga. Puisi cinta yg mengembun di antara tangis, tawa & wangi di antaranya

Tak mesti selalu tangguh, hanya bila terdampar peluh & keluh, aku kan hadir tuk mengusung sembuh, memberi teduh

Tak mesti selalu tegar, sebab saat kau gemetar, ku kan tersadar membentang bahu tuk bersandar

Tak mesti selalu berani, karena jika kau sendiri, ku kan beringsut bahkan berlari, tuk temani di setiap malam & pagi

Tak mesti selalu tertawa, karena hidup penuh nada. Kita kan tertawa pd saatnya, menangis pd waktunya. Aku, kamu didekap bahagia

Kita serupa kau, aku & bunga-bunga. Puisi cinta yg berwarna. Menuai mimpi mengukir hati. Di sini, cintaku makin terpatri

Thursday, October 21, 2010

Penasaran di Executive Lounge

Senin kemarin, berangkat lagi ke field, sempat mampir dulu di Executive lounge. Sendiri.
Sempat sarapan, trus senyum-senyum sendiri memperhatikan orang-orang di sekitar. Fenomena Executive Lounge di Bandara ini bagi saya menarik. Dan saya penasaran.

Saya berceloteh gak karuan di twitter pagi itu.


Sampe di situ saja. Terputus karena ketemu si Eko, anak Asset sebelah yang kayaknya setengah sotoy juga. Kemudian ngeributin masalah saham dan lain-lain yg akhirnya menurut saya membuang energi, karena yang diajak diskusi gak menguasai materi.

Tapi suatu saat, saya akan menguak misteri Executive Lounge yang bagi saya menarik itu. Hehehehe....

Wednesday, October 20, 2010

Lirik Lagu yang "Mengganjal"

Pernah mendengar lagu "Bintang 14 hari" yang dinyanyikan oleh Kangen Band? Apakah anda merasa bahwa itu liriknya normal?
Coba dengarkan lagi. Di awal lagu, liriknya kira-kira begini: "14 hari ku mencari dirimu untuk menanyakan dimanakah dirimu".
Masih merasa bahwa lirik itu biasa saja?

Menurut saya, lirik lagu itu terlalu penuh delusi, mengada-ada dan absurd. Apa gunanya mencari orang untuk bertanya di mana orang itu berada?

Ada lagi lirik lagu "Terkenang" dari kLA Project, yang potongan liriknya kurang lebih seperti ini: "Perasaan rindu membubung tinggi | Jatuh kepayang | Bertahun mencari tambatan diri | Ah …. , adakah engkau jawabnya".
Yang saya ingin kritisi di sini, apa artinya "Jatuh kepayang"? Apakah mereka mengira bahwa "kepayang" itu artinya cinta karena biasa ada idiom "mabuk kepayang"? Kita, harusnya berhati-hati dalam membuat lirik lagu. Jangan sampai asumsi kita tentang sesuatu menjadikan kita tidak berhati-hati.

Setahu saya, kepayang itu adalah sejenis buah yang memabukkan. Di hutan-hutan banyak terdapat pohon kepayang (atau kepahyang). Di daerah Sumatera, banyak desa atau kampung yang memakai nama Kepayang atau Kepahyang sebagai nama desa atau kampungnya.
Kalau kita lihat dari Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), arti dari kepayang adalah:

ke.pa.yang
[n] (1) pohon, bijinya memabukkan; Pangium edule; (2) biji kepayang

Dari definisi di atas, jelas, bahwa kepayang adalah sebuah pohon yang bijinya memabukkan. Di saat seseorang jatuh cinta, seseorang seolah-olah tidak sadar, seperti orang yang mabuk. Tidak bisa berpikir logis. Di saat itulah orang Melayu mengibaratkan seseorang yang sedang jatuh cinta itu sebagai orang yang mabuk kepayang.

Tuesday, October 12, 2010

Bagaimana kalau...? #random

Bagaimana kalau Foke terkena macet?

Bagaimana kalau PSSI direvolusi, dan Nurdin dilengserkan berserta kroni-kroninya?

Bagaimana kalau pengurus PSSI tetap seperti sekarang, tapi ternyata Timnas bisa Juara Asia?
*mimpi kali*

Bagaimana kalau banjir bandang Wasior terjadi pada saat Menhut bertandang ke sana?

Bagaimana kalau di tiap Kantor Pajak dibangun patung Gayus menangis?

Bagaimana kalau TVO*e terus menyiarkan persidangan Gayus?

Bagaimana kalau anggota DPR studi banding ke neraka? *biar tau hukuman kalo korupsi*

Bagaimana kalau penarikan Indomie di Taiwan dilakukan karena perang dagang? *mau bikin Taimie kali*

Bagaimana kalau tahun 2014 Jakarta benar-benar matot (macet total)?

Bagaimana kalau Foke kita suruh tinggal di rumah yang kebanjiran barang sehari saja?


Bagaimana kalau Anggodo jadi Ketua KPK saja?

Waktu

Tak terarah
Ketika kulabuh mimpiku di tepi danau keruh
dan daun-daun jatuh

Imaji
Ketika kunampak mimpi-mimpi itu lagi
dan aku berlari

Tersungkur
dan kulepas anak panahku melesat
dan cita-cita pun hampir tersesat

Bangkit
dan mimpi itu terus melejit
tetap berlari walau kaki sakit

Senyum
Bunga-bunga bermekaran harum
Kupetik sekuntum

Tak terasa dulu, kini, nanti
Kita bermimpi, mencoba, tersungkur, bangkit, senyum, sepi
Semua bukan imaji, semua tidak semu, pasti
Torehkan sejarah hidup dengan hati

Mencoba, masa depan dan perhatian
Kesempatan dan penantian
Telah digariskan, TUHAN

Wednesday, October 6, 2010

Ketika Hujan

Hujan ini bukan mata air langit. Hujan ini aliran emosi malam. Meluruh, menghias Kelam. Aku terdiam diantara sinar dan bayang.

Hujan ini bukan airmata dewa. Hujan ini kumpulan senandung burung. Terhimpun, turun mengalun. Aku tertegun di antara awan dan gunung.

Hujan ini bukan jelaga neraka. Hujan ini getah tumbuhan surga. Tercurah, tanah membasah. Aku terperangah, terengah-engah.

Hujan ini bukan untukmu, bukan untukku. Hujan ini karenamu, karenaku. Hujan ini untuk kau tahu. Lagu yg tak selalu merdu.

Dan ketika guntur menyambar-nyambar, utk kau sadar. Bahwa kita terlahir suka, bukan duka. Duka hanya mendung yg tak jadi hujan.

Dan ketika hujan mereda, untuk kau rasa. Bahwa angin menyapu hujan, menyapa alam. Alam adalah kita bersandiwara.

Lalu hujan itu, aku & kamu, mendung & alam. Setidaknya kita tahu. Hujan tak untuk ditafsir duka. Hujan utk menari di bawahnya. Cinta.


ADG
Blog: http://8200psig.blogspot.com/
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Monday, October 4, 2010

Diskusi dan Komunikasi dengan Bahasa Hati

Hidup di Indonesia, rasanya kita hidup di antara kaidah-kaidah dan norma yang berlaku yang biasanya kita sebut dengan adat ke-timur-an. Bahasa dan kata yang disusun rapi (tidak frontal/straightforward), penolakan dengan halus, intonasi yang diatur sedemikian rupa, hingga pengucapan nama dan panggilan terhadap seseorang bahkan diri kita sendiri pun sangat memperhitungkan sisi kepantasan dan kepatutan. Hal-hal tersebut turut memperkaya karakter bangsa.

Memang, tidak semua suku di Indonesia memiliki kaidah-kaidah yang sangat halus tersebut. Di Sumatera dan Sulawesi misalnya, banyak suku yang kata-katanya lantang dan tidak suka menyimpan perasaan.

Saya kutip dari twit Bpk Komaruddin Hidayat (@komar_hidayat) yang mengutip juga dari pendapat budayawan Remy Silado, bahwa orang Indonesia sepertinya memang lebih mengedepankan masalah rasa (hati) ketimbang logika (rasio). Ada banyak contoh kata bahasa Inggris yang apabila di-Indonesia-kan terjemahannya dikaitkan dengan hati.
Beberapa contoh:
  • unwillingly = setengah hati
  • glad = besar hati
  • annoyed = sakit hati
  • haughty = tinggi hati
  • humble = rendah hati

Saturday, October 2, 2010

Akhir September, Awal Oktober

Pagi ini, sejak semalam
berita getir

Mengunyah malam dengan amarah, lalu berdarah
menusuk manusia dengan tajam congkaknya, terbalas hangus sujudnya

Sementara negara masih ternganga
sejak hari ini dan seminggu berlalu
laskar liar beraksi di utara negeri, hingga evakuasi

Merampas uang menebar ketakutan
lalu mengucap nama Tuhan

Lalu berperang untuk keadilan jalanan
hingga darah menumpah
di kamar keadilan, dan halamannya

Ular besi berkhianat pada tuannya
manusia terkapar karenanya

Indonesia, hari ini tak kupakai batikmu
aku malu, maafkan aku