#IndonesiaTanpaJIL

BlogTag

BlogTag
Verba volant, scripta manent - Words fly, written stays

Tuesday, September 21, 2010

Optimis, Pesimis dan Realistis

Beberapa waktu lalu, seorang teman "menolak" ajakan saya untuk optimis, namun juga menolak untuk dikatakan pesimis. Dia bilang dia realistis: "pesimis dan realistis itu beda-beda tipis, seperti kumis dan kelimis", katanya.  Sebenarnya itu terjadi setelah saya memposting sebuah tulisan dari GNFI, tulisan yang optimis, tentang optimisme peningkatan ekonomi Indonesia, yang menulis adalah seorang pengamat dari Negeri kangguru. Sang teman bilang: "tulisan dan pembahasannya terlalu banyak 'if', dan masih terlalu jauh untuk diaplikasikan". Lalu dia menambahkan: "Stop dreaming and work harder". Hmmm... kalimat yang terakhir ini saja yang saya balas beri komentar: "Stop dreaming and work harder, sounds like a total mess to me. Keep dreaming and work harder, that's what we do to be better!". 

Here we go, let's start a discussion.

Albert Einstein pernah berkata, bahwa imajinasi itu lebih berharga dari sekedar ilmu pasti. Kenapa? Karena dari bermimpi, rasa penasaran dan keingintahuan itulah timbul pertanyaan, yang menggiring kita untuk berkarya. Berkarya, membutuhkan optimisme, agar kita bisa leluasa bergerak dengan semangat yang timbul dari optimisme itu. Tapi bagaimana kalau kita merasa apa-apa yang kita miliki tidak cukup untuk menghasilkan karya dan pencapaian yang lebih? Bukankah itu realistis apabila media yang saya miliki, lingkungan yang saya diami, tools yang kita pakai dan pengetahuan kita tidak "sampai" ke sana? Bukan pesimis kan? Mari kita telaah sedikit.


Realistis seperti yang dikatakan teman di atas, adalah sangat dekat dengan pesimistis. Bahkan tidak ada beda. Kenapa? Saya punya contoh kecil, di mana perasaan seseorang yang merasa sangat realistis, hampir mengakibatkan jalan hidupnya stagnan dan tidak semaju sekarang.

Pengalaman dari seorang yang sangat dekat dengan saya, seorang teman dekat.
Waktu itu, pertengahan 2005. Di media-media cetak, heboh diposting lowongan kerja dari suatu institusi pengawas dan pengambil kebijakan keuangan ekonomi dan moneter di negeri ini, suatu institusi yang bergengsi, tempat bekerja idaman bagi sarjana ekonomi dan sarjana lain yang berminat di bidang-bidang tadi. Teman-teman dari teman dekat saya ini, pada heboh ingin mengirimkan lamaran dan mempersiapkan diri, namun teman dekat ini merasa hal itu tidak perlu. Dia menganggap bahwa di harus realistis saja. Pelamar pasti ratusan, bahkan puluhan ribu. Level standard penerimaan pasti tinggi, dan dia merasa tidak mampu melewatinya. Kalimat lainnya: kalah sebelum bertanding.

Tidak, dia menolak dikatakan pesimis. Dia realistis saja. Begitu katanya. Padahal kalau kita melihat CV-nya, dia adalah salah satu lulusan terbaik di angkatannya, dengan predikat cum laude. Mendapatkan pekerjaan dengan mudah di suatu Bank besar walaupun hanya sebgai analis outsourcing. Dia tidak mengirimkan surat lamaran.

Hmm, dia terkejut. Beberapa minggu kemudian, dia mendapatkan panggilan untuk mengikuti test untuk lowongan tersebut. Ternyata institusi pemerintah tersebut mengirimkan permintaan ke kampus-kampus, meminta kampus merekomendasikan alumni terbaik mereka yang memanuhi syarat untuk diikutsertakan dalam test penerimaan calon pegawai baru. Senang? Khawatir? Gugup? Akhirnya dia putuskan saja untuk ikut. Toh nothing to lose juga.
Setelah mengikuti test tersebut, dia tidak terlalu berharap banyak akan hasilnya. Namun ternyata, dia lulus dan diminta mengikuti test lanjutan, dan terus..dan terus... hingga (singkat kata) ke tahap terakhir dan..... lulus. Satu-satunya dari Provinsi itu, dan dari wilayah itu (5 provinsi) hanya 3 orang yang lulus, menyisihkan belasan ribu peserta lain. "Rasanya tidak percaya", begitu katanya. Tentu saja senang..!!!

Itu cerita singkat dari sang teman dekat. Well, realistis? pesimis?
Coba bayangkan, apabila institusi tersebut tidak mencari rekomendasi dari kampus? Apa yang terjadi? Sang teman dekat itu tidak bakalan tahu what she's capable of. Realistis? No..! Dengan perasaan realistis yg seperti itu, lebih dari 50% psikologi seseorang sudah menyerah, dan pesimis.

Bagaimana jika optimis? Well, optimisme memang tidak serta merta membawa seseorang untuk berhasil. Tetapi optimisme bisa membuat seseorang lebih bersemangat mengerjakan sesuatu, berusaha, sekuat tenaga. Dengan optimisme, kita bisa mengenal dan memaksimalkan potensi kita. Ya, potensi kita. Setiap kita memiliki potensi yang berbeda-beda tergantung lingkungan, pendidikan, apa yang kita makan, apa yang kita lakukan, dengan siapa kita bergaul, apa yang kita baca, apa yang biasa kita tonton dan lain sebagainya. Potensi harus digali. Potensi harus dimaksimalkan, salah satunya dengan optimisme. Monyet tidak akan tahu potensinya untuk melompat dari satu dahan dengan jarak yang cukup jauh tanpa mencoba dan mungkin jatuh dahulu. Namun dengan optimisme, dia akan mencoba dan memaksimalkan potensinya.

Optimisme membuat kita mencari cara-cara dan jalan lain yang bisa dimanfaatkan (tentu saja yang baik dan tidak melanggar hukum) untuk mencapai tujuan. Contohnya? Mungkin dengan networking. Kita punya teman-teman yang bisa membantu kita. Kita memiliki rekan-rekan yang bisa mengatasi masalah kita. Kita memiliki teknologi yang bisa menyambung silaturahmi. Di zaman sekarang, dengan pesatnya perkembangan teknologi, bahkan melalui twitter jiwa manusia bisa diselamatkan. Asal optimis. Seseorang yang membutuhkan donor darah, dengan serta merta bisa mendapatkan pendonor karena seorang relasinya memposting permintaan bantuan donor darah via twitter.

Dengan optimis, kita bisa menumbuhkan niat dan keinginan untuk meningkatkan kemampuan. Dengan belajar lagi. Bisa lewat institusi formal, bisa dengan hanya membaca, bisa belajar dengan teman, bisa dengan diskusi dan media-media lainnya (ingat definisi media pada posting saya sebelumnya). Bayangkan seseorang yang pesimis, yang merasa kemampuannya tak akan mungkin bertambah walau dengan mengasahnya. Pada akhirnya akan digilas berjalannya zaman.

Optimis, jangan pesimis. Jangan juga meminjam istilah realistis padahal secara psikis kita pesimis. Optimisme adalah senjata kita. Tahun 1928, tidak akan ada Sumpah Pemuda kalau pendahulu-pendahulu kita tidak optimis. Bagaimana tidak? Kita dijajah..!

No comments:

Post a Comment