#IndonesiaTanpaJIL

BlogTag

BlogTag
Verba volant, scripta manent - Words fly, written stays

Monday, October 4, 2010

Diskusi dan Komunikasi dengan Bahasa Hati

Hidup di Indonesia, rasanya kita hidup di antara kaidah-kaidah dan norma yang berlaku yang biasanya kita sebut dengan adat ke-timur-an. Bahasa dan kata yang disusun rapi (tidak frontal/straightforward), penolakan dengan halus, intonasi yang diatur sedemikian rupa, hingga pengucapan nama dan panggilan terhadap seseorang bahkan diri kita sendiri pun sangat memperhitungkan sisi kepantasan dan kepatutan. Hal-hal tersebut turut memperkaya karakter bangsa.

Memang, tidak semua suku di Indonesia memiliki kaidah-kaidah yang sangat halus tersebut. Di Sumatera dan Sulawesi misalnya, banyak suku yang kata-katanya lantang dan tidak suka menyimpan perasaan.

Saya kutip dari twit Bpk Komaruddin Hidayat (@komar_hidayat) yang mengutip juga dari pendapat budayawan Remy Silado, bahwa orang Indonesia sepertinya memang lebih mengedepankan masalah rasa (hati) ketimbang logika (rasio). Ada banyak contoh kata bahasa Inggris yang apabila di-Indonesia-kan terjemahannya dikaitkan dengan hati.
Beberapa contoh:
  • unwillingly = setengah hati
  • glad = besar hati
  • annoyed = sakit hati
  • haughty = tinggi hati
  • humble = rendah hati
  • grieve = makan hati
  • encourage = kasih hati
  • darling = jatuh hati
  • observer = pemer-hati
  • attention = perhatian
  • contended = senang hati
  • conscience = suara hati
  • determined = bulat hati
  • eager = suka hati
  • satisfied = puas hati
  • unanimous = satu hati
  • careful = hati-hati
  • liver = hati
  • heart = hati
Tambahan lagi:
  • patience = jembar hati
  • prejudice = buruk hati
  • cautious = hati-hati
  • anger = pendek hati
  • affair = main hati
  • instinct = mata hati
Orang Indonesia, kebanyakan, hidup itu dijalani (dilakoni) dengan hati pasrah (sumeleh), tidak terlalu dipikirkan dan dianalisa secara kritis. Nrimo, apabila merasa tidak mempunyai cukup daya dan upaya mengubah sesuatu.

Hal-hal yang seperti di atas berpotensi membuat komunikasi semu, lain di bibir lain di hati. Karena etika yang dianggap harus dijunjung tinggi, membuat seseorang berkata sesuatu yang tidak sesuai dengan apa yang diinginkannya, karena menghormati lawan bicara. Keadaan seperti ini memang sering terjadi di masyarakat kita. Namun demikian, hal-hal seperti itu juga merupakan bagian dari refleksi budaya kita, yang menaruh hormat terhadap lawan bicara, terutama orang tua.

Komunikasi masa kini, menurut saya, harus dibangun berdasarkan semangat diskusi. Semangat musyawarah untuk mufakat, dengan menyampaikan yang benar-benar ada di dalam hati kita, dengan tujuan baik dan dengan cara yang baik. Kita, apalagi berpendidikan, tentu paham tata krama dan cara menyampaikan sesuatu dengan arif. Kalau diibaratkan lagu, bolehlah kita sebut penyampaian pendapat kita dengan cara easy listening. Pendapat kita sampaikan dengan benar dan terarah, sesuai isi dari pemikiran kita, namun dengan pemilihan kata yang pantas, mungkin bisa diselingi dengan hal-hal yang jenaka, ataupun perumpamaan.

Kritik terhadap sesuatu, semestinya bisa disampaikan dengan elegan, humble, etis dan mungkin lucu. Tergantung keadaan, dan tergantung sepedas apa kritik tersebut. Kritik yang pedas, tentu saja akan lebih ringan apabila kita sampaikan melalui perumpamaan, tamsil, metafor atau personifikasi. Dibalut dengan hal-hal yang lucu, sehingga orang yang dikritik bisa menjawab kritikan sambil tersenyum atau tertawa. Kritik yang serius, bisa saja dilontarkan dengan bahasa yang rendah hati dan etis.

Semangat diskusi harus kita sebarkan ke penjuru Indonesia, agar suatu pemecahan masalah bisa dicapai pada satu titik temu. Tidak dengan ngotot-ngototan, apalagi jotos-jotosan. "Bahasa hati " seperti di atas sebenarnya adalah sebuah adaptasi dari keterbukaan dan rasa saling menghargai dalam masyarakat kita. Bahasa hati tersebut adalah cerminan toleransi dan keberpihakan kita pada kedamaian dan ketenangan hidup. Bahasa hati adalah refleksi dari kedewasaan komunikasi masa lalu yang terbawa sampai sekarang.

Melihat apa yang terjadi di Indonesia akhir-akhir ini, bahasa hati yang membudaya tersebut seolah tersapu emosi tingkat tinggi. Menjadi sumbu dinamit yang pendek dan mudah meledak. Mengapa sekarang bahasa hati tersebut seolah "tertolak" dari bibir kita? Mengapa justru hati kita tidak berbicara, dan hanya emosi yang seolah ingin menghakimi sendiri?

Pertanyaan-pertanyaan tersebut semestinya tidak perlu kita jawab dengan kata-kata, namun dengan perbuatan dan membuat perubahan. Kita bisa berubah kembali ke bahasa hati dengan fasih, dimulai dari diri kita sendiri. Memperbanyak diskusi dengan sahabat, teman, anak, keluarga, dan mencoba berdiskusi dengan beretika. Menyampaikan pendapat tanpa emosi berlebihan, terutama apabila kita bertentangan. Mari fokus kepada komunikasi yang nikmat terlebih dahulu, baru solusi. Fokus kepada suasana musyawarah yang kondusif dahulu, baru hasil akhir yang menjadi tujuan. Dengan segala kegalauan hati, solusi baik susah dicapai dengan lengkap, tegas dan sistematik. Dengan kondusifnya suasana diskusi, walaupun tidak ada kesepakatan yang diraih, setidaknya tetap berjabat tangan di akhir sesi.

Bagi yang kurang sejalan dengan pendapat ini, silakan berkomentar dengan senang hati. Karena apa yang saya tulis di sini adalah juga merupakan pikiran saya yang tidak sempurna. Mari berdiskusi!

No comments:

Post a Comment